ISSU GLOBALISASI TENTANG GENDER, PERUSAKAN LINGKUNGAN, PEMILUKADA DAN POLA KONSUMTIF By, Marcus, F. Pessireron I. PENDAHULUAN Gender, perusakan lingkungan, pemilukada dan pola hidup konsuntif telah menjadi sebuah issu yang menglobal di dunia kita. Perhatian dunai secara formal terhadap empat issu sudah lama dibicarakan. Misalnyat issu gender sudah dimulai tahun 1948 melalui sebuah deklarasi The Universal Declaration of Huan Rights oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan tahun 1976 badan ini dilengkapi menjadi The International Bill of Human Rights (pernyatan hak asasi manusia). Dalam pada itu Presiden Amerika Serikat Jemy Carter menyatakan bahwa piagam PBB berbicara tentang keyakinan hak asasi manusia yang pundamental, martabat dan penghargaan manusia serta persamaan laki-laki dan perempuan. Terpaan wacana gender dari barat ke kawasan timur ikut berbicara dalam issu tersebut. Banyak dikalangan akademisi, lembaga suadaya masyarakat, birokrat, dan politisi, tetapi juga telah memasuki lorong-lorong kehidupan di segala lini. Bahkan gender telah menjadi manistrum dalam diskusrsus publik mulai dari wacana yang bernada status dalam terpaan membicarakan gender berkembangan pula masalah lingkungan qua, kritis hingga skeptis. Dalam terpaan membicarakan gender berkembangan pula masalah lingkunganhidup mendapat perhatian penting negera-negara pada dasawarsa tahun 1970 an. Ini berkembang sejak diadakan pula konprensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm tahun 1972. Terdapat kesan bahwa masalah lingkungan hidup merupakan sesuatu yang baru. Pada hal sebenarnya, permasalah ini sudah ada sama dengan umur kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu faktor yang penting dalam permasalah lingkungan hidup ialah besarnya populasi manusia di dunia. Pemenuhan kebutuhan manusia dapat di atasi karena adanya pemanfaatan lingkungan berbentuk pengelolaan lingkungan hidup. Melaluinya terjadi hubungan timbal balik antara lingkungan biofisik dengan lingkungan sosial. Ini menunjukkan ada keterkaitan dengan konsep ekologi. Oleh karena itu setiap kali membicarakan lingkungan hidup, maka konsep ekologi akan selalu terkait, sehingga permaslahan lingkungan hidup tidak lain adalah permasalahan ekologi itu sendiri. Namun perlu di ingat masalah lingkungan hidup adalah masalah alami, yakni peristiwa terjadinya berbagai hal dari proses natural. Proses natural ini terjadi tanpa menimbulkan akibat bagi tata lingkungan itu sendiri, dan dapat pulih kemudian secara alami (homeostas). Namun perlu di sikapi bahwa masalah lingkunagan hidup tidak lagi dapat dikatakan sebagai persoalan alamia bersifat natural, tetapi karena manusia memberikan faktor penyebab sebagai signifikan, secara verbal bagi peristiwa lingkungan. Dalam sejarah demokrasi suadah ada, yakni demokrasi yang bersifat tradisional yaitu zaman yunani kono di mana negara-negara pada zaman itu dipimpin oleh seorang raja. Sperti negara-negara yang ada ditimur tengah kuno berkembang bentuk-bentuk kerajaan sperti Mesir, Arab, dan di belahan dunia lain seperti di Eropa, Inggris, Belanda dan negara-negara lain. Sistem demokrasi tradisional itu berada dalam sustruk monarki dimana seorang penguasa atau raja dalam struktur tadi memimpin secara turun-temurun. Sistem demokrasi ini mulai berkembang dalam perubahan issu yang besar menjadi demokrasi global yang mana seorang pemimpin dipilih langsung oleh rayat. Demokrasi sperti ini mulai berkembang di Indonesia yang pertama disebut dengan demokrasi liberal dan kemudian berkemnag menjadi demokrasi Pancasila. Sekarang demokrasi menjadi pilihan utama dalam penyelengaraan pemerintahan di berbagai negara di dunia. Menurut Huntington (1991), bahwa gelombang demokrasi yang melanda beberapa kawasan telah merubah wajah pemerintahan di banyak negara dari rezim otoliter ke rezim demokrasi. Bahkan di katakan oleh Fukuyama (dalam Norrloff, 2010) demokrasi bentuk akhir sejarah peradaban dan pemerintahan umat manusia semakin sulit disangkal. Hegemoni demokrasi yang menjadi prinsip penyelenggaraan pemerintahan dibanyak negara terus bertambah secara sistematis. Hal senada di sampaikan Diamond (1999) bahwa adanya kecnderungan demokrasi akan terus berkembang termasuk negara-negara yang pemerintahnya memiliki tradisi bertentangan dengan demokrasi. Pada perubahan dan perkembangan issu terlihat dalam kehidupan masyarakat global bahwa budaya konsumtif menjadi menglobal di dunia kita. Bahwa budaya konsumtif mempengaruhi pola perilaku terhadap manusia khusus kehidupan masyarakat perkotaan. Konsumtif tidak dipandang sebagai sebuah estimasi kebebasan tetapi juga diartikan sebagai kemajuan dari budaya global dan peradaban bangsa. Galobalisasi dari kehidupan konsumtif meliputi budaya ekonomi, politik, dan institutional, khususnya pada aspek budaya yang terjadi pada wilayah perkotaan, maka konsumtif dalam budaya global dapat dipandang sebagai ekspansi berbagai aturan dan praktik umum yang tradisional (homogenitas) sebagai proses yang di dalamnya banyak unsure budaya lokal dan global yang berinteraksi memunculkan pencampuran yang menuju pada terujudnya beragam paduan budaya (heterogenitas). Fenomena yang terjadi ialah mengarah pada homogenitas yang disamakan dengan penjajahan budaya, yang mempengaruhi sebuah budaya tertentu pada sejumlah besar budaya lainnya. II. PEMBAHASAN A. Diskripsi Issu 1. Issu Gender Meski issu kajian ilmu gender telah menjadi wacana global dan bukan lagi menjadi persoalan baru dalam ilmu sosial, ilmu hukum, agama dan politik, namun pemahaman akan gender secara holistik bukanlah hal yang mudah. Di perlukan berbagai kajian yang dapat mengantarkan pada pemahaman akan persoalan yang benar tentang gender. Hal ini menjadi sangat pentimg karena gender sering kali di identikkan dengan jenis biologis dan jenis kelamin (sex). Padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Karena itu dalam wacana publik tetang kesetaraan gender pada berbagai kalangan telah mengalami kekeliruan besar diantaranya ; bahwa ada anggapan bahwa gender sebagai sesuatu yang menyebabkan perempuan menjadi lupa akan kodratnya ; gender sebagai bentuk upaya perempuan menyaingi laki-laki ; gender disebut sebagai intervensi budaya asing yang akan merombak tatanan budaya harmonis antar laki-laki dan perempuan ; dan wacana gender adalah wacana seputar perempuan, sehingga laki-laki tidak perlu terlibat didalamnya. Agar memudahkan dalam memberikan pengertian gender, maka sangatlah penting menjernihkan perbedaan pemahaman antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin tertentu, dengan alat-alat dan tanda-tanda tertentu pula. Alat tersebut melekat pada diri manusia, dan umumnya tidak dapat dipertukarkan dan dapat dikenali sejak manusia lahir. Inilah yang dimaksudkan sebagai ketentuan Tuhan (adikrodati). Lain halnya dengan geneder, ia diberikan (social given) pada kaum laki-laki maupun perempuan sebagai hasil konstruksi sosial maupun kultur. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki di anggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Lebel dan penciri, dan simbol tersebut dapat dimiliki oleh kedua belah pihak. Artinya boleh jadi terdapat laki-laki yang emosional, lemah lembut keibuan (memiliki sifat penyayang). Sementara dalam kondisi yang sama ada juga perempuan yang rasional, kuat, dan perkasa. Perubahan ciri dan sifat itu dapat terjadi dari waktu-kewaktu dan dari suatu tempat ketempat lain (Fakih, 1997). Disinilah awal munculnya identitas gender (gender identity). Perbedaan gender (gender differences) antar laki-laski dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang. Pembentukan gender ditentukan, diperkuat, bahkan dikonstruk secara sosio kultural, dilangengkan oleh inetrpretasi agama dan mitologi seakan telah menjadi keyakinan. 2. Issu Lingkungan Issu kerusakan lingkungan terjadi secara alamiah akibat berbagai faktor alam yang berubah, dan akan sembuh secara natural oleh hukum-hukum alam. Misalnya gempa bumi, agin tornado dan lain-lain. Dan ada berbagai kasus kerusakan lingkungan terjadi karena ulah perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Misalnya pada lingkungan lokal seperti penebangan liar dan perusakan ekosistem laut daratan dan udara. Penebangan liar yang dilakukan pihak industry dengan bahan baku kayu di Indonesia memang tidak perlu diragukan lagi keberadaannya. Terlebih produksi mebel di Indonesia yang sangat populer ditingakat Dunia. Namun sayangnya ada banyak orang yang tamak dalam melakukan penebagan liar untuk memenuhi permintaan bahan kayu industry. Akibatnya, hutan semakin hari semakin gundul sehingga banjir dan longsor secara lokal semakin tidak terelakan lagi. Seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan terdapat sebanyak 26 kasus pembalakan liar terjadi sepanjang tahun 2009, baik yang sudah ditangani pihak pengadilan (meja hijau) maupun kasusnya masih dalam tahap penyedikan aparat keamanan. (Mustam Arif. 2009). 3. Issu Pemilukada Keputusan politik untuk menyelenggarakan Pemilukada adalah langka strategis dalam rangka memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Melalui momentum pemilukada memunculkan issu-issu positif yang dianggap sebagai sercecah harapan bagi pengengembangan demokrasi di Indonesia. Pemilukada sebetulnya merupakan alternatif untuk menjawab hiruk- pikuk, gaduh, kisruh, dan buruknya proses maupun hasil pemilukada secara tidak langsung lewat DPRD. Pemilukada secara langsung menjadi kebutuhan mendesak guna megoreksi segera mungkin segalah kelemahan dalam pemilukada pada masa lalu. Pemilukada bermanfaat untuk menegakkan kedaulatan rayat atau menguatkan demokrasi lokal, baik pada lingkugan pemerintahan maupun lingkunagan kemasyarakatan (sivil society). Menurut Suriatmaja (2003: 5) bahwa terdapat beberapa pertimbangan yang melandasi pemilukada langsung yakni ; pertama, sistem pemerintahan menurut UUD 1945 memberikan keluasan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah, kedua, dalam menyelenggarakan otonomi daerah di pandang lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi dan Pemiukada langsung merupakan perubahan penting dalam proses konsolodasi di aras lokal. Setidaknya pemilukada langsung dipandang memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan sistem rekrutmen politik melalui DPRD. Dwipayana (dalam Suharizal, 3012: 38) menjelaskan ada sejumlah kondisi yang mendorong pemilukada secaralangsung adalah ; bahwa pemilukada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi sebuah perubahan, pendalaman dan perluasan demokasi lokal. Demokrasi langsung melalui pemilukada akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di tingakat lokal, dibandingkan sistem demokrasi perwakilan yang lebih banyak meletakan kuasa untuk menentukan rekrutmen calon ditangan segelintir orang di DPRD. 4. Issu Konsumtif Pengaruh globalisasi memperlemah budaya lokal terjadi di kota-kota besar di Indonesia, dan masuknya paham konsumtif, hedonisme yang akhir-akhir ini telah menemui bentuknya dengan maraknya bertumbuh komunitas-komunitas perkotaan bergaya moderen yang mengikuti gaya Eropa seperti homoseksual, remaja dugem, dan komunitas party yang merusak moralitas masyarakat. Gaya hidup hedonisme, konsumtif semakin marak dengan bertebarannya café-café dan club malam yang menjadi tempat nongkrong remaja masa kini. Atau terlihat dari pola perilaku para ibu-ibu (perempuan) dan bapak-bapak (laki-laki) yang turut mengambil bagian dalam pola hidup yang konsumtif di kota-kota besar. Para remaja putri atau ibu-ibu dan bapak cendrung memiliki gaya hidup hedonisme yang konsumtif yang tercermin dengan simbol-simbol tertentu seperti, merek-merek yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tingkat status sosial yang tinggi. Hal ini membuat remaja putri para ibu kehilangan kepercayaan diri dan merasa cendrung tersaingi, tidak dapat megekspresikan diri, dan terlalu lemah untuk menerima budaya baru dan mengabaikan budaya lokal yang tidak membawa perubahan terhadap penyusuain akan budaya modern yang menampakan pola hidup konsumtif dan hedonism. Fenomena tersebut menjadi proses adaptasi yang dilakoni oleh para Ibu dan kaum remaja putri dalam memenuhi kebutuhan sosialnya dan memiliki kecenderungan dan bergaya hidup konsumtif dan hidonisme (Susanto, 2001: 5). Gaya hidup konsumtif adalah kecenderungan munculnya frekwensi tingka laku individu melelui interaksi sosial yang berkaitan dengan penggunaan waktunya. Keadaan ini dianggap penting serta pemikiran tentang dirinya bertujuan untuk mendapatkan kenikmatan atau kegembiraan dengan mengabaikan norma-norma yang ada. Kecenderungan ini untuk menunjukan kehidupan budaya konsumtif dan hedonisme mempunyai arti sebagai sebuah perkemnagan budaya membawa kemajuan dan kesejateraan kepada masyarakat kota yang lebih modern. B. Analisis Sosiologis Atas Keempat Issu 1. Aalisa Issu Gender Prespektif structural, Oakley (1972) dalam bukunya yang berjudul Sex, Gender anad Society memaknai gender sebagai perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan pula kodrat Tuhan. Perbedaan biologis jenis kelamin (sex) merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara parmanen dan universal berbeda. Sementara gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan ciptaan laki-laki dan perempuan melalui sebuah proses sosial dan budaya yang panjang. Konsep gender sebagai suatu perbedaan laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan melahirkan perbedaan seperti karakteristik sifat (masculing & feminim); ruang lingkup kerja (public & domestik); dan fungsi sosial budaya (produksi & reproduksi) sebagai suatu fakta biologis dan fakta sosial. Menguraikan perkenaan dengan hal tersebut, Parson dalam kerangka sistemnya menguraikan prasyarat suatu sistem dalam kondisi seimbang (equilibrium). Model analisis Parson merujuk pada pertumbuhan setiap sistem sosial untuk memenuhi persyaratan fungsional yaitu penyusuain, pencapain tujuan, integrasi, dan pemeilhraan pola-pola yang laten (Parsons, 1951). Penekanan analisa struktural fungsional Parson terletak pada mekanisme peningkatan stabilaitas dan keteraturan dalam sistem sosial (social order). Dalam konteks diferensiasi gender, prasyarat funsional yang dimaksud yaitu integrasi secara comlementer antar laki-laki dan perempuan dalam ruang publik dan domestik. Parson (dalam Umar, 1999) menilai bahwa pembagian peran secara sexsual adalah seuatu yang wajar. Dengan pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami istri dapat berjalan dengan baik. Apabila terjadi penyimpangan, tumpang tindih antar fungsi, atau justru disfunsional, maka sistem keutuhan keluarga akan mengalami ketidak seimbangan. Teori Interaksionisme simbolik Mead (dalam Ritzer & Goodmand, 2005) mengidetifikasi bahwa individu berusha memelihara identitas gendernya di berbagai situasi serta memahami berbagai arti mejadi perempuan dan laki-laki. Menjadi tiga premis utama yang perlu dijelaskan pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan maknan-makna yang ada pada sesuatu itu, kedua, makana itu diperoleh dari interkasi sosial yang dilakuakan dengan orang lain, ketiga, makna-makan tersebut kemudian direvisi, dirubah dan disempurnakan melalui proses inetraksi. Perspektif perilaku sosial dalam ilmu sosial sering juga disesbut sebagai pedekatan behavioristik. Fokus utama perspektif ini terletak pada pandangan bahwa setiap perilaku manusia sebagai hasil interaksi memiliki oriantasi tertentu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para pelaku tindakan tersebut. Dengan kata lain, fokus kajian perilaku sosial yang kongkrit-realistik adalah perilaku manusia yang tampak serta memungkinkan perulangan (reiforcemenl). Perspektif ini memahami kenyataan sosial berada dalam hubungan stimulus-respons (mekanistik) yang dialami individu ketika berhadapan dengan lingkungan sosialnya. Individu pada dasarnya menerima tanggapan (respons) sosial karena mendapatkan stimulus (rangsangan) yang datang dari luar dirinya. Rangsangan ini berasal dari individu atau dari laingkungan sosial yang lebih besar, seperti keluarga atau institusi politik. Postruktural dalam sejarah panjang kemanusiaan perempuan sering dipandang sebagai makhluk yang lemah, subordinat, dan inferior bahkan perempuan didefenisikan sebagai other. Prespektif postruktural dari kalangan feminis bahwa sejarah ditulis dari sudut pandang pria dan tidak menyuarakan peran wanita dalam membauat sejarah dan membentuk struktur masyarakat. Sejarah yang ditulis kaum pria telah menciptakan bias dalam konsep kodrat manusia, potensi dan kemampuan gender, dan dalam pengaturan masyarakat. Bahasa logika dan struktur hukum diciptakan oleh kaum pria dan memperkuat nilai kepriaan (logosentrisme masculin). Dengan menyatakan kepriaan sebagai norma maka kewanitaan adalah devisi dan budak dari interpretasi dari norma. Hal ini merupakan hegemoni dalam konsep dan penguatan hukum dan kekuasaan patriaki. Kaum femenisme menetang dan membongkar (dekonstruksi) kepercayaan atau mitos bahwa pria dan wanita begitu berbeda, sehingga perilaku tertentu bisa dibedakan atas dasar perbedaan gender. 2. Analisa Issu Lingkugan Teori fungsionalisme structural, berangapan bahwa masyarakat merupakan sistem secara fungsional terintegrasi ke dalam bentuk keseimbangan. Menurut Parsons Talcott (dalam Johnatan H. Turner, 1990: 51) menjadi persyaratan fungsional dalam sistem dimasyarakat dapat dianalisis baik menyangkut struktur maupun tindakan sosial adalah berupa perujudan nilai dan penyusuaian dengan lingkungan yang menuntut suatu konsekuensi adanya persyartan fungsional. Ada fungsi tertentu yang harus dipenuhi agar ada keserasian sistem yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan keadaan laten. Empat persyaratan fungsional yang mendasar tersebut berlaku untuk semua sistem yang ada. Pada hakikatnya masalah lingkungan di tinjau dari teori fungsionalisme struktural maka dapat dikatakan bahwa terjadinya kerusakan alam disebabkan adanya gangguan dan disharmoni terhadap ekosistem lingkungan. Unsur-unsur dalam dinamika lingkungan jika ada yang tidak berfungsi secara baik, maka tentu membawa resiko berupa bencana alam dan penderitaan bagi manusia. Teori sruktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim yang dipengaruhi oleh Aguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan oleh Spencer dengan memabadingakannya dan mencari kesamaan antar masyarakat dengan organisme hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requiste functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa subtantif Spencer dan penggerak analisa fungsionallisme masyarakat. Teori konflik dibangun untuk menetang teori fungsional struktural. Menurut Ralf Dahrendorf (dalam Johnatan H. Turner, 1990: 203) kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan idinvidu pada posisi atas dan bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang ini adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk pada weweng akan terkena sangsi. Dengan demikian masyarakat disebut oleh Dahrendorf sebagai persekutauan masyarakat yang terkoordinasi secara paksa (imfeatively coordinated associations). Dikatakan telah mengabaikan nilai dan norma yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. Masyarakatnya sepertinya tidak pernah aman dalam pertikaian dan pertentangan. Teori pertukran sosial oleh Piter Blau (dalam Johnatan H. Turner, 1990: 328). memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Keterkaitan teori itu dengan lingkungan hidup, dapat di amati dari sikap dan perilaku masyarakat sekitar hutan yang melakukan pembabatan dan pengambilan hasil hutan untuk ditukar dengan nilai tertentu dari kaum kapitalis yang memproduk kebutuhan sekunder bagi masyarakat. Imbalan yang diberikan pihak industri memacu masyarakat untuk mendapatakan hasil hutan dengan berbagai macam cara termasuk menebang dan melakukan pembakaran secara serampangan. Teori postmodernisme lahir dari beragam pikiran dari para ahli. Teori ini menolak adanya penyeragaman. Hal itu disampaikan oleh Derrida yang menekankan penolakan terhadap kebenaran tunggal dan dalil-dalil umum ilmu pengetahuan dengan cara mendekonstruksi bangunan pemikiran modernism. Foucault menyoroti banyak aspek tentang masyarakat postmodernisme. Ia menolak pandangan tentang kekuasaan sentralistik dan mengatakan bahwa kekuasan tidak berada ditangan orang yang berkuasa, tetapi menyebar dan ada dimana-mana. Pada dasarnya masyarakat postmodernisme dapat dilihat dari perubahan perilaku ekonomi dari masyarakat mengutamakan asas manfaat., menjadi masyarakat lebih mengutamakan simbol atau tanda. Suatu benda dimiliki bukan karena benda itu berfanfaat dalam kehidupan sehari-hari, tetapi lebih karena benda tersebut melambangkan simbol, tanda dan status tertentu. Teori interaksi simbolik oleh George Herbert Mead, geberoerientasi pada prinsip bahwa orang merespons makna yang mereka bangun sejauh mereka berinteraksi satu sama lain. Setiap induvidu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, tentu saja dipengaruhi oleh lingkungan budaya dan organisasi sosial, bahkan ia menjadi instrument penting dalam memproduksi budaya masyarakat, dan hubungan yang bermakna yang mempengaruhi mereka. Dari situ pemikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan orang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan mediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Maknanya terlektak pada interaksi dan tidak pada cara lain. Pengaruh timbal- balik antar masyarakat, pengalaman individu, dan interaksi menjadi bahan bagi penelaahan dalam tardisi interaksisonisme simbolik. Teori kritis menurut Ibnu Khaldun (dalam Majid Fakhry 2001) menyatakan bahwa bentuk-bentuk persekutuan hidup manusia muncul sebagai akibat dari interaksi iklim, geografis dan ekonomi. Ketiga bagian dari lingkungan itu juga bersikap sangat menentukan corak temperament manusia. 3. Analisa Issu Pimilukada Struktural fungsional, Issu demokrasi dalam kasus pemilukada menunjukan bahwa pelaksanaan pemilukada sebagai wujud demokrasi ditingkat lokal merupakan keharusan dalam rangka mengujudkan demokrasi ditingkat nasional. Penelitian Smith (1998) menemukan bahwa munculnya perhartian terhadap transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa adanya demokrasi di daerah, secara otomatis bisa diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas demokrasi di tingkat nasional. Aanalisis fungsoinal sruktural menurut Marton (dalam Ritzer, 2012), berfokus pada kelompok, atau organisasi, masyarakat dan kenbudayaan-kebudayaan. Marton menyatakan bahwa setiap objek yang dapat ditundukkan kepada analisis fungsional struktural harus menggambarkan suatu item yang distandarkan yakni, terpola dan berulang. Dalam konteks issu demokrasi dalam kasus pemilukada merupakan sesuatu yang terpola dan berulang dalam setiap lima tahun. Anaisis issu demokrasi lokal juga dapat dilakukan dengan menggunakan skema AGIL dari Parson, dalam arti demokrasi sebagai suatu sistem harus melaksanakan emapat fungsi yaitu ; pertama, Adaptasi, kedua, Pencapaian tujuan, ketiga, Integrasi,. keempat, Lentensi (pemeliharaan pola). Teori Konflik, demokrasi ditingkat lokal melalui pemilukada membuka ruang untuk kompetisi secara fair dan adil diantara kontestan. Dalam konteks ini akan terpisa antara penguasa dan yang dikuasai. Golongan yang berkuasa berusaha untuk mempertahankan status quo, sedangkan yang tidak berkuasa berusaha untuk melakukan perubahan-perubahan, yang oleh Dahrendorf (dalam Ritzer, 2010) melibatkan dua golongan yang disebut quasi group dan interest group. Teori sistem Niklas Lukmann, (1927) bahwa sistem dapat ditemukan dalam perbedaan antara suatu sistem dan lingkungannya. Perbedaan antara keduanya berada dalam kompleksitas (Ritzer, G. 2012). Kasus pemilukada yang pengewantahan demokrasi ditingkat lokal yang masih menampilkan dua wajah yang sangat berbeda, pada hakikatnya memperlihatkan variasi dalam pelaksanaannya di berbagai daerah. Dalam pada itu sejalan dengan prespektif teori sistem yang menolak ide bahwa masyarakat atau komponen masyarakat berskla luas harus diperlakukan sebagai fakta sosial yang menyatu. Fokusnya menurut perspektif ini adalah pada hubungan dari proses-proses ada tingkat yang berfariasi dalam sistem sosial (Ritzer & Goodman, 2005). Interkasi simbolik, dalam perspektif ini melihat bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interkasinya dengan individu yang lain. Mereka memusatkan perhatian pada interaksi antara indivudu dan kelompok. Dalam perspektif ini individu-individu berinteraksi dengan simbol-simbol yang di dalamnya berisi tada-tanda, isyarat dan kata-kata. Perspektif ini memberikan penekanan pada individu yang kreatif dan aktif. Sandstrom et al. (2001: 217), menyatakan ada dua point teori antara lain ; pertama, memfokuskan pada interaksi antar actor dengan dunia sekitarnya, kedua, memiliki pandangan bahwa actor dengan dunia sekitarnya merupakan suatu proses yang dinamis, bukan struktur yang bersifat statis. Teori aksi menurut Mac Iver, Znanicki dan Parson mengatakan bahwa tindakan manusia itu muncul dari kesadaran sendiri sebagai subjek dan dari situasi eksternal dalam posisi sebagai objek. Sebagai subjek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Demokrasi di tingkat lokal dalam perspektif fenomenologi melihat demokrasi sebagai sebuah fakta sosial yang memaksa individu pada dasarnya membutuhkan partisipasi individu dalam pembentukan dan pemeilharaannya. 4. Analisa Issu Konsumtif Struktural fungsional, Petirin Sorakin (dalam Johnson D, Paul 1986: 96) mengatakan bahwa yang memusatkan perhatianya pada tingkat budaya, dengan menekankan arti, nilai, norma dan simbol, serta saling ketergantungan antara pola-pola budaya, masyarakat sebagai suatu sistem interaksi dan kepribadian individual. Susanto (2001: 121) meyatakan bahwa atribut aliran gaya hidup hedonis meliputi lebih senag mengisi waktu luang di mall, kafe, tempat clubbig dan restoran-restoran makana siap saji (fast food) serta memiliki sejumlah barang-barang dengan merek prestisus. Kecenderungan gaya hidup atau perilaku hedonis konsumtif sangat erat kaitannya dengan kaumperempuan yakni para ibu-ibu dan remaja putri tanpa kecuali untuk para pria atau bapak-bapak yang juga memiliki perilaku yang sama. Fenomenologi teresebut menjadi proses adaptasi oleh kaum perempuan dan laki-laki di dalam memenuhi kebutuhan sosialnya. Peristiwa tersebut disebabkan karena para ibu atau remaja putri telah kehilangan kepercayaan diri dan merasa tersaing dan tidak dapat mengegspresikan diri dan terlalu lemah untuk menagtasi kekurangan yang dimilikinya. Menurut Loudon & Bitta (1998), faktor yang merobah perilaku hidup adalah budaya, kelas sosial, kelompok rujukan, kelurga dan kepribadian seseorang. III. KESIMPULAN Tatkala arus dan dampak gobalisasi, modernisasi dan informasi menerpa semua bidang kehidupan, bukan saja sains, teknologi dan ekonomi, tetapi juga orientasi dan nilai budaya yang inovatif, karena konteks budaya dan sosial politik tidak terpisahkan dari sains, teknologi dan ekonomi. Issu globalisasi modernisasi dan informasi secara komperhensip dapat dikemukakan sebagai pertemuan dan pergulatan kebudayaan. Hal itu dapat terungakap dari berbagai issu seperti issu gender, issu perusakan lingkungan, issu pemilukada (dmokrasi), dan issu pola konsumtif. Issu globalisasi yang sifatnya temporal itu merupakan gejala wajar dinamika perubahan dunia. Arus tersebut merupakan dampak pertemuan bahkan percaturan kekuatan-kekuatan ide yang subur bertumbuh dibelahan-belahan dunia. Kalau dikatakan bahwa arus globalisasi serta informasi menerobos tanpal batas manca negara maka timbul pertanyaan; Bagaimana sikap suatu masyarakat bangsa terhadapnya ? Apakah pintu rumah tangga masyarakat bangsa itu dibuka lebar-lebar ataukah ditutup rapat-rapat ? Apakah diadakan filterissasi terhadap yang datangnya dari luar itu; bagaimana caranya ?. Masyarakat suatu bangsa tidak akan pernah terhindar dari issu di atas. Sikap terbuka dan selektif, sebagai sistem filterisasi terhadap pengaruh globalisasi dan modernisasi sangatlah penting. Masyarakat bangsa kembali kepada doktrin Pancasila yakni kearifan lokal dan agama sebagi cerminan peradaban suatu masyarakat bangsa. DAFTAR PUSTAKA Fakih, Mansour., 1997. Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Oakley, A., 1972. Sex Gender dan Society. New York: Harper Coophon. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Pernada Media. Johathan, H. Turner., 1982. The Structure of Sociological Theory. Ilionis: Dorsey Press. Umar, Nasaruddin., 1999. Argumen Keselarasan Jender: Perspeklif Al-Quran. Jakarta: Pramadina. Huntington, S.P., 1989. The more Countries become democracies, Political Science Querterly 99: 193-218. McCarthy, Thomas. 1982. The Critical Theory of Jurgen Habermas. Massachussetts: MIT Press. Norrloff, C., 2010. Americas Global Advantage: US Hegemony and International Cooperations, Cambridge University Press. Ritzer, George., 2011. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Di Indonesiakn oleh Drs. Alimandan. Jakarta: Rajawali Perss. -----------------., 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Puastaka Pelajar. Sandstrom, Kent L., Daniel D. Martin And Gary Alan Fien., 2001. Simbolic Interractionsm at the End of the Century. In George Ritzer and Bary Smart (Eds). Hendbook of Social Theory, London, Thousand Oaks, New Delhi: 2012. Publikation. Sarungdayang, S.H., 2012. Pilukada Langasung Problematika dan Prospek. Jakarta: Hasata Pusaka. Suharizal., 2012. Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep mendatang. Jakarta, Rajawali Perss. Suriatmaja, M., I. B. G., 2013. Pemilihan Kepala Daerah Langsung, dimuat dalam Roudtable Discussion. Jakarta: Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (Center for Local Government Innovation). Mustam, Arif., 2009. (Online), Issu Lingkungan Di Kota Makassar. Direktur Eksekutif Jurnal Celebes, (http://www.antaranews.com/berita), (diakses 17 Juni 2013).
Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : LM. Deden Marrah Adil
Dipublikasi © Juni, 2013. GOPASA

PINTU MASUK