MANUSIA MODERN PENCARI MAKNA HIDUP
Marcus, F. Pessireron
A. Pendahuluan
Manusia Indonesia banyak yang pinter tetapi kebliger, demikian ungkapan seorang pakar sosiologi dari
Universitas Indonesia Tambrin, Elly. Tumagola. Ungkapan keras dan siniis itu
ditunjukan ketiaka mayoriti sejumlah penyewelengan dalam berbagai aspek
kehidupan, termasuk korupsi. Orang awam tentu sulit untuk memahami, bagaimana
mungkin orang terdidik (pintar) dapat
terseret menjadi manusia yang tersesat (kebliger).
Jika demikian, adakah kepandaian untuk pendidikan itu berfungsi untuk
membimbing kehidupan, sehingga manusia terdidik itu tidak tersesat jalan?. Jika
tersesat, berarti pendidikan tidak fungsional lagi bagi kelangsungan hidup
manusia. Sementara itu, masyarakat di Kota-kota besar berada dalam suasana kehidupan modern, mulai mendambakan kehidupan yang
tentram dan damai. Mereka membangun villa-villa atau tempat peristirahatan yang
yang jauh dari keramain Kota, karena kepangatan hidup di Kota. Namun, Kota
tetap ganas, sehingga keteduhan fisik ternyata tidak dengan sendirinya tidak
memberikan kesejukan batin. Maka sebagaimana dilaporkan oleh sebuah majalah
kenamaan di ibu Kota, bahwa orang-orang Kota dari kalangna kelas atas kemudian
mencari hiburan lain di pedesaan. Di
antara mereka ada yang menjalin nikah
kontrak atau perselingkuhan kontrak
kurupsi dan lain-lain yang sejenis dengan itu, sambil tetap memelihara keutuhan
hidup rumah tangganya di Kota Mertopolitan. Fenomena ini merupakan bentuk
ketersesatan lain dari orang-orang yang hidup dalam kemajuan Globalisasi
dan Modernisasi dari budaya modern.
A. B. Problem Metafisik
Dunia modern yang
banyak menyajikan ceritera-ceritera agung (grand
narratif) terntang kemajuan, sesungguhnya telah mulai kehilangan
kepercayaan ketika muncul kritik tajam dan pembongkaran oleh post-modernisem (posmodernisme) yang ingin menawarkan
kisah-kisah kecil (mikrologi) tentang
kemajuan dan kehidupan. Manusia saat ini tidak lagi percaya terhadap proyek
modernitas (Karel, Batens. 1996: 346). Proyek Globalisasi, dan Modernitas serba
menawarkan sesuatu yang serba tunggal, terstandar, dan universal, di bongkar
oleh pemikiran baru yang toleran terhadap pluralitas, pembongkaran, dan
lokalitas. Sesunguhnya Posmodernisme itu bukanlah sama sekali baru dan bagi
sementara pandangan tidak lebih dari mata rantai Modernisme dan Globalisasi.
Tetapi Posmodernisme telah memberikan suasana baru yang mengungkapkan tabir
tentang betapa banyak kemungkinan bagi proyek kemajuan umat manusia dan
masyarakat disetiap lingkungan sosial-budaya tanpa harus terikat pada kisah-kisah besar sebagaimana dimitoskan oleh
Modernisme.
Globalisasi,
Modernisasi dan Posmodernisme itu sendiri bagi sementara pihak, terutama
kalangan agamawan, tidak menjanjikan banyak hal mendasar karena pada muaranya
Posmodernisme, Globalisasi juga mendasarkan diri pada naturalisme dan matrialisme,
sebagai kembaran lain dari alam pikiran sekuralisme dan rasionalisme dalam
kebudayaan modern. Sehingga sementara
pihak tetap meragukan, apakah kaum Posmodernisme Globalisasi dan Modernisasi dapat
menyelamatkan masa depan umat manusia disetiap lingkungan komunitas dari
bencana kehidupan karena katiadaan makna dalam hidup manusia. Memang Posmodernisme, yang
mendengung-dengungkan pluralitas, terkesan toleran bagi tumbuhnya kearifan
lokal (misalnya di Maluku Pela-Gandong,
Larvulngabal, Kalawedo, Masohi dan lain-lain) seperti ditawarkan oleh
setiap kebudayaan lokal yang tradisional disetiap komunitas. Tetapi terdapat
getaran-getaran kurang atau tidak bersahabat dari pendukung Posmodernisme,
Globalisasi dan Modernisasi terhadap kearifan lokal dan kehadiran agama,
sebagaimana Modernisme mengambil sikap serupa dalam tempo yang cukup lama. Sehingga Posmodernisme, Galobalisasi, Modernisasi
juga dipandang sebagai, tidak memiliki jangkar spiritual dan moral yang kokoh
bagi bagi keselamtan hidup umat manusia di masa depan (Syafii Maarif, 1997).
Maka pada titik
persoalan yang tampak serius itu, banyak pihak kemudian yang menoleh pada agama. Bahwa agama
sungguh dapat memberikan makna atau arti hidup yang hakiki bagi umat manusia,
karena disitulah salah satu komitmen dasar kehadiran agama dari Tuhan yang Maha
Pencipta. Kehadiran para Nabi Allah yang membawa risalah agama, tidak lain
untuk mencerahkan kehidupan umat manusia sejagat sehingga meraih keselamtan
hidup di dunia dan di hari akhirat kelak. Namun kehadiran agama dalam kehidupan
modern yang sarat dengan seribu satu macam persoalan krusial saat ini,
lebih-lebih dimasa mendatang, bukanlah agama dalam dimensinya yang terbatas
sekedar menawarkan ritual dan kesalihan individual dalam wilayah marginal. Menurut
O’dea, Thomas F, bahwa Agama yang diharapkan sebagai pembawa pencerahan itu,
adalah agama yang juga menawarkan makna hidup yang utuh dan kokoh, baik pada
level individual maupun sosial dalam dimensi yang seluas-luasnya. Agama yang memberikan fungsi keseimbangan
antara hubungan manusia dengan Allah, dan hubungan manusia dengan sesama dan
lingkungannya sehingga menjadi rahkmat dunai sekitarnya.
B. C. Manusia Kehilangan Makna Hidupnya
Dunia
modern yang mengukir kisah sukses secara materi dan karya ilmu pengetahuan
serta teknologi, agaknya tidak cukup memberikan bekal hidup yang kokoh bagi
manusia, sehingga banyak orang modern tersesat dalam bingkai kemajuan dan
kemoderannya. Benar jika John Naisbitt dan Patrcia Aburdene menyatakan bahwa,
ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mengatakan kepada kita tentang apa arti
hidup. Ungkapan penuh makna itu dikemukakan ketika mengulas soal Kebangkitan Agama-agama Di Melinium Ketiga
dalam karya spektakulernya, megatrends 2000. Kedua fituris kenamaan itu tentu
tidak sedang menapikikan peran iptek bagi kehidupan. Bahkan di sadari betapa spektakulernya
kemajuan peradaban umat manusia modern saat ini karena peran iptek.
Kedua
pemrakira itu tampaknya hanya sedang meyakinkan tentang keterbatasan iptek
untuk menguak misteri kehidupan yang paling hakiki dari keberadaan makhluk yang
bernama manusia dalam semesta jagat raya ini. Di mensi yang hakiki tentang
hidup itu berkisar tentang pertanyaan dari mana asal mula kehidupan, untuk apa
manusia hidup, dan ke mana tujuan akhir kehidupan itu. Jika iptek tak memberi
keterangan tentang arti kehidupan, yang merupakan salah satu dimensi dari
misteri hakikat kehidupan manusia, lantas institusi apa yang dapat
menjelaskannya ? Agama dikedepankan sebagai salah satu institusi yang dapat
menguak rahasia terdalam dan sarat misteri dari kehidupan umat manusia itu. Kendati,
agama yang di maksudkan bukan pada kelembagaannya, tetapi lebih pada dimensi
spiritualitas keagamaan. Salah salah satu yang jelas, dalam dimensi apapun
agama itu di rumuskan, dan mungkin ditengah sebagian kecil terdapat orang yang
meragukan eksistensi agama, namun esensi dan fungsi agama ternyata tetap
diyakini oleh orang-orang modern sebagai sesuatu yang sangat vital dalam
kehidupan manusia sepanjang kehidupan.
Selain
agama yang berdemensi spiritual, kedua pemrakira itu menunjuk aspek kesenian
dan kesusastraaan. Boleh jadi dua dimensi tersebut dikedepankan sebagai tawaran,
selain sebagai aspek agama, karena dipandang dapat memeberikan sentuhan pada
kehalusan budi dan perilaku manusia, sekaligus memberi nuansa metafisik bagi
kehidupan manusia sebagai sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi modern. Dalam kehidupan modern, menurut sosiologi humanistic oleh
Peter L. Berger (1991), agama berfungsi sebagai Kanopi Suci (The Sacred Canopy) dari Chaos. Agama ibarat langit suci yang
teduh melindungi kehidupan. Agama sebagai penyiram panasnya kehidupan, yang
dapat menumbuhsuburkan tanaman. Dengan agama, manusia menjadi memiliki rasa
damai, tempat bergantung, bahagia, dan memiliki ketentraman hidup. Agama dapat
melindungi manusia dari Chaos, dari ketidak berartian hidup, dari situasi hidup
tanpa arti. Sedangkan Chaos, tumbuh subur karena kehidupan modern yang terlampau rasional, dan sekuler.
Sebaliknya
pikiran agama yang dianalogikan dengan langit suci yang oleh Lenin mengatakan bahwa agama adalah Candu bagi rayat. Dan guru besar dari
Karl Marks, yaitu Feuerbech, menulis bahwa
agama mengasinkan manusia dari
dirinya sendiri. Agama tidak menjadi
Kanopi Suci yang mengantar dan membimbing manusia mengenal kehidupan, kebaikan,
kebenaran dan keadilan, kesejukan, kedamain, namun sebaliknya manusia meracuni
nilai-nilai agama itu menjdi Chaos, membangkitkan kebencian dan keserakahan
antar pemeluk agama yang intoleran. Serkularisasi merupakan proses di mana sektor-sektor
kehidupan masyarakat dan kebudayaan dipisahkan dari dominasi institusi dan simbol-simbol
religious. Sekuralisasi dan
rasionalisasi modernitas inilah yang kemudian menjadikan agama yang semula
membawa kabar dari langit (Wahyu),
sedemikian jelas, menjadi samar-samar sebagai rumor atau kabar agin, (P, L.
Berger 1992). Dengan semangat humanisme
sekuler dan rasional, manusia modern menjadi angkuh dan congkak. Humanisme
sekuler menampilkan hal-hal yang religious, hal-hal yang ghalib, dan dengan congkaknya menapikan Tuhan sebagai Pencipta alam
semesta dan manusia.
Karena
kecongkakan manusia yang mengandalkan rasio dan keunggulan dirinya, maka
manusia modern menjadi tidak memahmi makna dan konsep hidup yang sesunggunya
sebagai manusia sejati di tengah kemajuan yang luar biasa. Mereka tidak tahu
dari mana asal mula kehidupan, untuk apa mereka hidup, dan kemana akhir hidup
ini. Mereka tidak memahami Sangkan
Paraning Dumandi, kata orang jawa. Karena hilangnya keseimbangan dan
ketidakfahaman atas makna hidup, manusia modern sperti diungkapkan John Dewey (Syafii
Maarif Ahmad 1999), bahwa menjadi lebih
dungu ketimbang manusia primitif dalam hal menaklukan dirinya. Mereka bingung
dalam hiruk-pikuk kehidupan yang spektakuler yang dibangunnya. Mereka tak mampu
menjawab pertanyaan fa aina tadzhubuun,
mau apa dan kemana sesungguhnya anda hidup ?. Mereka sungguh-sungguh dungu,
kendatipun, meminjam sindiriran Allah dalam sura Al-Quran, wa maa yasy’ uruun, mereka sungguh tak menyadari (al-Baqarah ; 9), juga tidak memahaminya
(al-Baqarah ; 13). Sehingga manusia
modern yang maju secara rasional itu menjadi mudah terombang-ambing oleh fartamorgana
dunia maya.
Pustaka
Ahamad Syafii
Maarif. 1999. Agama & Krisis Kemnusiaan Modern. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar.
Baten, K. 1996. Filsafat Barat Abad XX, Jilid II. Jakarta. Gramedia.
Peter, L. Berger.
1991. Langit Suci, Agama Sebagai Realitas
Soaial. Terjemahan, Jakarta. LP3ES.
--------------------.
1992. Kabar Angin Dari Langit; Makna Teologi Dalam Masyarakat Modern. Jakarta.
LP3ES.
Nisbitt, John &
Patricia Aburdene., 1990. Megatrends 200.
Terjemahan Jakarta. Warta Ekonomi.
Franz Dahler. 1970.
Masalah Pengetahuan Agama. Yogyakarta. Kanisius.
O’dea, F. Thomas.
1992. Sosiologi Agama, Suatu Pengantar Awal. Terjemahan. Jakarta. Gramedia.
+ komentar + 2 komentar
Seyogyanya perlu ada keseimbangan antar budaya lokal dan modern yakni Globalisasi, Modernisasi dan Posmodernisme. Keseimbangan budaya pemberi warna terhadap perkembangan dan kemajuan dunia tanpa mengabaikan kearifan lokal, dan agama sebagai pecerahan spiritual terhadap masyarakat yang tetap mengakui bahwa TUHAN Yang Maha Kuasa pencipta alam semesta dan manusia. Tingaktakan karir anda sebagai seorang intelektualisme yang profisional, dalam jurnalistik keilmuan. Sukses selalu buat bang Marc.
Roulette and Slots Online - Lucky Club
Roulette and Slots. Our online roulette and slots site features a variety of game providers including slots, table games and video poker. Rating: 7/10 luckyclub.live · 2,182 votes
Posting Komentar