PUASA
Dan
HARMONI KEMANUSIAAN
By
Marcus, F. Pessireron
Kehadiran
Puasa Ramadhan selama sebulan suntuk dalam setiap tahun, merupakan wahana
spiritual paling berharga bagi setiap Muslim untuk melakukan pembongkaran atas
penjara-penjara hawa nafsu yang mengungkung dirinya, untuk menjadi manusia yang
tercerahkan dalam kesejatian dirinya sebagai insane bertakwa (Al-Qur’an, S.
al-Baqarah:183). Rasulullah berkata, bahwa Allah telah menyatakan firma-Nya,
sesungguhnya semua amal kelakuan anak Adam dapat dicampuri kepentingan hawa
nafsu, kecuali Puasa. Puasa itu khusus
untuk-Ku, Akulah yang akan membalasnya, dengan firman Allah. Puasa itu
sebagai perisai. Jika orang yang sedang berpuasa, janganlah berkata keji dan
melakukan petengkaran. Kalau ada yang mencaci maki, atau mengajak berkelahi, katakanlah aku sedang berpuasa (inny shaaimun). Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya,
bau minyak kesturi. Maka dua kegembiraan bagi mereka yang berpuasa, yaitu
ketika ia berbuka, dan di saat kelak berjupa dengan Allah untuk menerima pahala
puasanya (Hadis Qudsy diriwayatkan Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah).
Sementara
ulama menunjuk ibadah Puasa (as-shawm) sebagai oleh jiwa tahunan (riyadhah as-sanawiyah). Yakni, proses didik diri
untuk mengalahkan dominasi nafsu keduaniawian yang secara representative
dilambangkang dalam pantangan makan, minum, dan pemenuhan nafsu b iologis.
Suatu proses jihad akbar, yakni perjuangan besar seorang Muslim untuk memerangi
hawa nafsu yang bercokol dalam dirinya. Rasulullah menyatakan, bukanlah Puasa
kalau sekedar berhenti dari makan, minum, dan memuaskan hawa nafsu seks. Puasa
adalah menahan diri dari dusta dan parangai keji. Puasa sekedar tidak
makan, minum dan memenuhi kebutuhan
biologis, menurut sementara ahli sufi, adalah Puasa anak-anak, merupakan
tingkatan paling rendah dari derajad orang berpuasa. Ketika dunia kemanusiaan
menyongsong fajar biru di abad 21, umat Islam dapat menjadi institusi sosial
dalam ibadah Puasa Ramadhan yang hadir setiap tahun itu sebagai upaya melakukan
rehumanisasi kehidupan dari hiruk pikuk krisis modernitas. Yakni bagimana
mengembalikan jati diri manusia modern kewatak dasar dirinya (fitrah) sebagai
insan al-kamil. Insan yang mengenali kesejateraan dirinya. Mengenai Tuhan yang
menciptakannya, memahami makna dan tujuan kehidupan dirinya, dan memahami
semesta alam tempat dirinya bergumul dalam kehidupan.
Entri
point melakukan rehumanisasi itu dimulai dari diri sang Muslim, secara
individual dan kolektif, sehingga terjadi proses transpormasi kesalehan dalam
berbagai dimensi kehidupan, sebagai upaya dalam melakukan harmoni kemanusiaan.
Pemaknaan dan pemungsiaan Puasa dalam proses rehumanisasi dan transpormasi
kesalihan dalam konteks harmoni kemanusiaan itu, tentu saja menuntut
reaktualisasi dari pandangan normative Puasa sebagai rukun normal (ritual)
kepada funsionalisasi esensial yang bersifat objektif atas nilai-nilai
ketakwaan dalam keseluruhan kehidupan kemanusiaan sebagaimana tujuan-tujuan
utama Puasa. Proses secara instrnsik ditandai oleh kesadaran internal setiap
Muslim untuk melakukan pembongkaran (dekonstruksi) atas penjara-penjara (nafsu)
kemanusiaan yang ada dalam dirinya tidaklah utuh sebagai insane ciptaan Tuhan
yang paling mulia ketimbang makhluk lainnya dim ka bumi ini. Sedangkan secara
ekstrinsik, Puasa dijadikan wahana bagi usaha membangun solidaritas kemanusiaan
yang harmoni dan damai, yang melintasi sekat-sekat yang dapat meruntuhkan persaudaraan
kemanusiaan, menuju persaudaraan umat manusia sejagat sebagai insane mulia yang
bermatabat sama dihadapan Tuhan. Puasa
yang demikian inilah, yang akan membuahkan kemenangan di Hari Raya (Lebaran)
Idul Fitri setelah sebulan lamanya setiap Muslim berPuasa, yang dilambangkan
dalam ucapan; “min al-‘Aidin wa al- Fa’izin.” Secara fitri, manusia adalah makhluk Allah
yang paling mulia, juga sarat kontradiksi dalam dirinya, ketimbang makhluk
Tuhan lainnya disemesta alam raya ini. Menurut Ali Shariati (Amien Rais, 1982),
manusia di dalam dirinya memiliki dua kutub yang saling kontradiksi, yakni
kutub suci merupakan bagian dari sifat Tuhan, dan kutub kehinaan. Al-Qur’an
menunjuk dua kutub itu dalam potensi “fuzara” yang cendrung pada kejahatan atau keburukan
dan potensi “mut-taga” yang cenderung pada kebaikan dan kesucian
(Al-Qur’an, S. as-Syam; 7-8). Kutub kesucian secara histeris dilambangkan oleh
kehadiran Habil putra Adam, yang kemudian menjadi korban oleh kutub kehinaan
yang dilambangkan oleh saudaranya, Qabil dan generasi Qabil. Pada kutub
kehinaan itu, manusia secara destruktif memiliki naluri untuk menumpahkan
darah, sebagaimana didakwakan oleh para Malaikat sewaktu Tuhan menyatakan akan
mengangkat Adam sebagai khalifah di muka bumi, sepanjang sejarahnya. Dan nafsu
merebut, memburu, merampas, serta membunuh ada manusia itu, belakangan ternyata
bukan sekedar usaha bertahan dan jadi pemenang dalam persaingan hidup
sebagaimana filosofi “survival of fittes”
, tetapi sudah merupakan bagian dari kepuasan dirinya (Al-Qur’an S.
at-Takatsur; 1-2). Karena itu, menurut Shariati, di antara emapat penjara
manusia yang mengungkung dirinya yakni alam, sejarah, masyarakat, dan egonya,
maka perjuangan melawan ego itulah yang paling berat dalam perjuangan seseorang
anak manusia.
sejarah
dan masyarakat, namun disangkali gagal dalam menaklukan dirinya. Akibanya
timbul mala petaka kemanusiaan, di mana manusia modern sebagai suatu generasi,
kini berada dalam siatuasi penindasan, pemusnahan dan menjadi korban tangannya
sendiri. Manusia yang tidak bisa menaklukkan dirinya sendiri, dalam telaah Shariati, tdak lebih sekedar menjadi “al-basyar”, makhluk berkaki dua yang
berjalan tegak, yang tidak berbeda sedikitpun dengan makhluk Tuhan lainnya
semisal binatang. Tindakan destruktif manusia bahkan dapat lebih parah karena
memiliki akal dan peralatan yang canggih, sehingga lebih merusak dari pada
perilaku binatang buas. Sebaliknya, kemampuan untuk memerangi egonya, yang
berarti mampu meredam potensi kehinaan dan mengembangkan potensi kesucian yang terpendam dalam dirinya,
dia adalah manusia dalam wujudnya sebagai al-insan.
Maka secara instrinsik, ibadah Puasa dibagi setiap Muslim, diharapkan dapat
membebaskan diri dari penjara hawa nafsu yang mengerangkeng dirinya, yang
berarti mengubah potensi dirinya dari al-basyar
menjadi al-insan. Manusia bertaqwa
itulah yang sejatinya sebagai al-insan sebagaimana makna esensial dari tujuh
ibadah Puasa. Sehingga manusia Muslim menjadi harmoni dengan dirinya, dan tidak
lagi dungu denga dirinya sebagaimana yang telah menjadi penyakit manusia
modern. Dengan Puasa, manusia Muslim, dapat menyelaraskan potensi dirinya yang
terpecah-pecara pragmentaris dan berada dalam situasi serba inkonsistensi
karena debu-debu kehidupan modern yang
menumbuh suburkan potensi fuzara-nya.
Sedankan
secara ekstrinsik, harmoni manusia yang dapat ditranspormasikan atau
diaktualisasikan oleh Muslim yang berPuasa, adalah terrujudnya kesalihan sosial
dalam tata hubungan kemasyarakatan di berbagai segi kehidupan. Sikap toleran,
welas asih, empatik, senasib sepenanggungan, pemaaf, suka damai, yang berbea
dalam kerangka solidaritas sosial sebagai makhluk bermatabat, dapat di
kembangkan dari makna fungsional ibadah Puasa dalam kehidupan bermuamalah.
Sikap mudah mendakwa, memvonis, memojokan, menghina, menjatuhkan, berseteru,
merasa benar sendiri, dan sikap-sikap kerdil lainnya terhadap sesame terang-terangan
berlawanan dengan esensi dan makna fungsional dari nilai ibadah Puasa. Jika
setiap destruktif yang naïf ini masih subur dalam diri sang Muslim baik secara
individual maupun kolektif, padahal setiap tahunnya selama sebulan suntuk ia
selalu Puasa di bulan Rahmadhan, maka Puasa itu tidak membuahkan apa-apa selain
rasa lapar dan dahaga. Dan itu berarti kekalahan bagi sng Muslim, bukan
kemenagan. Dalam kehidupan masyarakat yang kini lebih didominasi corak
solidaritas organis (meminjam konsep Emile Durkheim) dimana hubgnan antara sesame
lebih didasarkan pada serba kepentingan, merenggang, patembayatan, impersonal,
dan berjarak; melalui ibadah Puasa umat Isalam dapat menarik hubungan sosial
yang kebablasan itu kekoridor yang harmoni dengan dasar persaudaraan
kemanusiaan, kesamaan, dan keadilan. Ketika kualitas kesenjagan sosial cendrung
menguat antar lapisan sosial, dan orang-orang rentan terealinasi secara structural
dan cultural, umat Muslim, melaui ibadah Puasanya yang bersifat transpormatif
dituntut mengembangkan kepedulian dan solidaritas sosial yang manusiawi sebagai
implementasi pesan luhur Nabi “tidak
beriman seseorang, jika tertidur nyenyak karena kekayaan, sementara tetangganya
dibiarkan kelaparan.”
+ komentar + 1 komentar
Ass, Menjadi seorang ilmuan yang cerdas jika didalam diri anda memiliki karakter beribadah Puasa yang baik dan benar.Selamat menunaikan ibadah Puasa bang March.
Posting Komentar