POLITIK MEMECAH TRUST SOSIAL


POLITIK MEMECAH TRUST SOSIAL
(Menggali dari Perspektif Sosial-Kultural Masyarakat Maluku)
By
Marcus, F. Pessireron.
Konflik sosial di Maluku yang terjadi sejak tahun 1999-2003, serta 25 April 2004, telah meninggalkan sejumlah problem sosial yang mendasar dan hingga kini belum tertangani secara signifikan, seperti pengungsian, pengangguran, kemiskinan, terputusnya pendidikan kelompok usia sekolah dan sebagainya. Bahkan lebih tragis lagi, konflik tersebut telah menimbulkan distrust, stigma kolektif dan segregasi sosial yang semakin tajam antar komunitas Salam dan Sarane. Pela Gandong, Latu Patti, Saniri, Masohi, Kalawdo dan Larvulngabal sebagai mekanisme kultural di dalam hubungan antar agama, negeri dan etnis, yang diharapkan dan dibanggakan sebagai potensi perekat sosial, ternyata kurang efektif memproteksi masyarakat dari konflik yang terbuka. Efeknya kemudian, peran-peran potensi kultural seperti itu dinegasikan oleh negara di dalam menangani pelbagai problem yang muncul akibat konflik tersebut. Sebagai gantinya, dengan dalil stabilitas keamanan dan perdamaian, pemerintah melegalkan pendekatan pendekatan yang lebih bersifat politis dan militeristik.  
Pertanyaannya adalah, apakah modal-modal sosial kultural seperti pela, gandong, latu patti dan saniri dan lain-lain di Maluku sudah tidak relevan lagi dengan mekanisme hubungan antar agama, kampung dan etnis dewasa ini?, pertanyaan yang bersifat hipotetik seperti ini pada satu sisi ada benarnya, karena modal-modal sosial kultural seperti itu tidak ditransformasikan dalam rangka menjawab perkembangan sosial yang semakin pesat dengan tingkat komposisi masyarakat yang semakin plural, berikut problem sosial yang semakin kompleks. Namun, tidak dengan serta-merta dapat dibenarkan semua hipotesis tersebut. Pada konteks ini, ada kecurigaan besar terhadap negara yaitu menyangkut kebijakan negara dalam menangani multikulturalisme yang merupakan realitas ke-Indonesiaan kita. Kebijakan yang bersifat sentralisme tidak saja berefek kepada bidang politik dan ekonomi, tetapi turut juga menghancurkan lokal wisdom di pelbagai wilayah di Indonesia. 
Dalam kasus Maluku, penghancuran negeri-negeri adat, yang dulu bernama uli, atau negeri yang dipimpin oleh seorang upu latu atau raja berubah menjadi desa dan kelurahan yang dipimpin oleh seorang kepala desa atau lurah, sangat berpengaruh terhadap potensi-potensi kultural lain seperti pela, gandong, saniri, dan lain-lain. Karena semua potensi-potensi  kultural tersebut sudah terintegrasi menjadi perekat sosial yang lahir dari proses tansaksi kultural dalam kurun berabad-abad. Untuk itu, secara sosiologis-antropologis pela, gandong, saniri serta pelbagai pereket-perekat sosial lokal yang ada di Maluku, tidak mendapatkan pijakan dan spirit di dalam sistem desa atau kelurahan. Karena kedua sistem tersebut memiliki pijakan dan spirit yang berbeda. Pijakan desa dan kelurahan bertolak dari akar kultural antropologi Jawa, sedangkan uli dan negeri bertolak dari akar kultural antropologi Maluku. Atas dasar itu, proses unifikasi sistem pemerintahan seperti itu adalah pengingkaran terhadap hak-hak primordial yang diberikan Tuhan kepada setiap kaum, etnis, suku, dan bangsa. Pada kasus seperti ini kita menemukan pelbagai bentuk kekerasan pada ranah kultural, dan Maluku adalah contoh yang paling fatal. Sebab dengan hancurnya potensi-potensi sosial kultural, masyarakat Maluku kehilangan daya di dalam mengantisipasi konflik yang terbuka. Ketika modal-modal sosial kultural tersebut telah hancur, dan dianggap sudah tidak fungsional lagi, menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah untuk menggunakan pendekatan-pendekatan yang sangat bersifat politis dan militeristik. Kondisi masyarakat yang panik dan labil akibat konflik yang tak berkesudahan dan ketidakpastian masa depan, membuat masyarakat jadi fatalis dan pesimistis tidak punya solusi lain, kecuali menerima semua yang menjadi kebijakan negara. Namun alangkah ironisnya, formula yang dianggap pemerintah sebagai solusi, justru semakin menambah problem dan mengancam posisi masyarakat sipil di dalam membangun peradabannya. Sangat naif, jika masyarakat diajarkan untuk menyelesaikan semua problemnya dengan cara-cara politik praktis dan militeristik, bukankah ini tidak proporsional?. Kini masyarakat sipil di pelbagai wilayah dan desa-desa, baik di komunitas Islam maupun Kristen hidup di dalam masyarakat yang sangat segmentaris, meminjam istilah arkeologi sosial. walaupun masyarakat berada pada posisi state, tetapi hidup dalam posisi vis a vis antar agama, suku dan golongan.
Hal ini merupakan dampak dari pendekatan yang dominan politis, sedangkan pendekatan yang militeristik telah mengakibatkan masyarakat terbiasa menyelesaikan pelbagai problemnya dengan cara-cara kekerasan. Pola-pola militeristik, telah membuat masyarakat sipil tidak memiliki pola-pola lain yang lebih bersifat kultural. Kalaupun ada klaim-klaim sejumlah local wisdom yang mampu menyelesaikan konflik di Maluku, ternyata hanya difungsikan sebagai “fosil kebudayaan”, yang hanya laku untuk kepentingan industri pariwisata. Kondisi seperti ini jika tidak cepat diantisipasi, maka masyarakat Maluku akan tetap hidup dalam “kekerasan” walupun-konflik antar komuniatas Islam dan Kristen telah berakhir. Karena krakteristik kekerasan akan muncul dalam bentuk yang lain. Untuk itu dapat dikatakan bahwa hilangnya modal sosial kultural seperti ini –merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Konflik 25 April 2004, merupakan salah satu bukti yang tegas bahwa negara tetap membiarkan Maluku dalam keadaan konflik, bahkan mungkin menjadi industri konflik bagi kelompok-kelompok yang berkepentingan untuk memperoleh keuntungan.
Dalam pada itu, pola-pola penanganan yang bersifat politis dan militeristik-pun memperoleh ruang yang semakin besar akibat mandat/ legitimasi dari negara. Padahal, semua persoalan yang menjadi sebab-justru berasal dari kepentingan kekusaan politik, dan ekonomi pada tingkat nasional, maupun local. Lalu mengapa orang-orang Jakarta dan Daerah (para politisi) asyik membangun wacana-wacana politik serta merancang sejumlah manuver di tingkat local, sehingga pendarahannya justru terjadi pada ranah sosial budaya di tingkat local, kususnya gross root ? Sungguh realitas yang tidak adil dan sangat menyakitkan, kini penderitaan sipil di Maluku sudah sangat carut-marut, pengungsi yang sudah berkali-kali mengungsi, kehilangan rumah dan pekerjaan serta hidup di tempat-tempat pengungsian, hanya bisa mengharapkan bantuan kemanusiaan.
Anak-anak yang putus sekolah, rawannya penyakit karena lingkungan pengungsian yang tidak higenis, merupakan sebagian kecil dari problem kemanusiaan yang terjadi pada masyarakat sipil Maluku. Belum lagi sering terjadi kasus-kasus yang menambah penderitaan mereka, sebagai contoh di Halong, para pengungsi harus membayar fasilitas yang ada di tempat pengungsian. Siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anak bangsa ini? Bukankah mereka juga punya hak untuk memperoleh serta menikmati kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan? Bagaimana masa depan anak-anak yang menjadi korban konflik tersebut? Penderitaan mereka tak berkesudahan, stigma itu begitu dalam untuk dihapuskan, sementara yang bertanggung jawab tetap setengah hati menangani mereka, bahkan membiarkan mereka untuk tetap saling membunuh. Dengan demikian, dampak dari konflik tersebut harus diselesaikan atau ditangani secara serius, konprehensif dan berkesinambungan. Maluku merupakan tanggung jawab negara-karena apa yang terjadi di Maluku adalah kesalahan negara. Untuk itu pemerintah harus mengembalikan modal-modal sosial orang Maluku yang telah hancur, serta menghentikan sandiwara politik kelompok-kelompok berkepentingan yang mengakibatkan tangisan, penderitaan dan pendarahan di Maluku. Cukup sudah, jika bangsa ini masih mau dipandang sebagai bangsa yang beradab…..Semoga.

Share this article :
 

+ komentar + 1 komentar

8 Juli 2013 pukul 18.16

Ass, Sebagai seorang intelektual ajaklah masyarakat untuk berpeganglah pada doktrin negara yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Agama sebagai pangayum dan pemberi rahmat Allah menerangi perjalanan masyarakat bangsa,yang terus maju, berkembang, menuju kesejateraan yang adil dan beradab. Sukses selalu buat anda.

Posting Komentar

 
Support : LM. Deden Marrah Adil
Dipublikasi © Juni, 2013. GOPASA

PINTU MASUK